VIVAbola - Barcelona tak kuasa melawan kutukan
Liga Champions. Tiki-taka, penguasaan bola, banyak
peluang dan bermain
cantik, seakan tidak berguna ketika Barcelona disingkirkan Chelsea di
semifinal Liga
Champions.
Unggul jumlah pemain dan unggul 2-1 di
babak pertama, Barcelona sepertinya akan melangkah ke final Liga
Champions untuk kali ketiga dalam empat tahun terakhir. Namun, takdir
berkata lain. Babak kedua di Camp
Nou menjadi anti-klimaks bagi
Azulgrana.
Dua kali tendangan Lionel Messi membentur mistar
gawang, salah satunya adalah penalti yang gagal
dikonversi menjadi gol
Pemain Terbaik Dunia 2010 dan 2011 pada menit ke-49. Penguasaan bola
hingga
83 persen dan 23 tendangan ke gawang menjadi sia-sia bagi
Barcelona.
Justru Chelsea yang mampu mencetak gol pembunuh saat
injury time babak kedua melalui Fernando Torres.
Barcelona pun harus
tersingkir di semifinal setelah kalah dengan agregat 2-3 dari Chelsea.
"Terkadang
sepakbola tidak adil. Tapi, jika ada suatu cara Anda ingin kalah, yang
tepat adalah seperti ini,
karena kami bersikap jujur dengan gaya bermain
kami," ujar gelandang Barcelona, Cesc Fabregas, seperti
dikutip dari
situs resmi UEFA.
Jika dilihat dari statistik pertandingan dan
permainan yang diperlihatkan Barcelona, Fabregas pantas
mengatakan
Blaugrana tidak mendapat hasil yang adil. Namun sekali lagi, sepakbola
bukan masalah statistik.
Tim yang bermain indah dan memiliki penguasaan
bola lebih baik, belum tentu menjadi pemenang.
Dijegal Dua KutukanSetidaknya
ada dua kutukan yang gagal ditaklukkan Barcelona dan Lionel Messi saat
leg kedua semifinal
melawan Chelsea. Bagi Barcelona, klub yang berdiri
pada 29 November 1899 tersebut gagal menjadi tim
pertama yang
mempertahankan gelar Liga Champions.
Belum pernah ada tim yang
mampu mempertahankan gelar Liga Champions sejak turnamen ini
diperkenalkan pada 1993. Tim terakhir yang mampu melakukannya adalah AC
Milan (1989 dan 1990) saat
masih bernama Piala Champions.
Kutukan
kedua harus dirasakan Messi. Striker internasional Argetina itu selalu
gagal membobol gawang
Chelsea dari delapan pertemuan di Liga Champions.
Messi pun hanya bisa menutup mukanya wajahnya
dengan seragamnya.
Pantas
kiranya Messi menjadi pemain Barcelona yang paling kecewa dengan
kegagalan di semifinal.
Pasalnya, selain gagal mengkonversi penalti,
Messi juga sadar dirinya menjadi tumpuan tim ketika Barcelona
frustrasi
menembus pertahanan bertumpuk Chelsea.
Namun, meski mengkonversi
penalti menjadi gol, pelatih Barcelona Josep Guardiola enggan
menyalahkan
Messi. Guardiola menilai Messi tetap menjadi bintang
Blaugrana.
"Saya hanya berterima-kasih padanya atas segalanya
yang telah dia (Messi) lakukan. Kekaguman saya
padanya tak bisa
dilukiskan, karena dia kami bisa berada di sini," tegas Guardiola.
Kepandaian Di Matteo
Ketika
Terry mendapat kartu merah karena melanggar Alexis Sanchez menggunakan
dengkul dari belakang,
banyak orang pasti berpikir lini pertahanan
Chelsea akan keropos. Terlebih Gary Cahill sudah meninggalkan
lapangan
lebih dulu di awal babak pertama karena cedera hamstring.
Bersama
duet Terry-Cahill, Chelsea tidak pernah kebobolan di lima pertandingan
terakhir. Bersama
keduanya di jantung pertahanan, The Blues juga tidak
pernah menelan kekalahan di delapan pertandingan
terakhir.
Namun,
tidak percuma Di Matteo terlahir sebagai pemain Italia. Darah
Catenaccio pun mengalir di nadinya.
Insting bertahan langsung
dikeluarkan pelatih 41 tahun tersebut ketika Terry diusir wasit.
Langkah
pertama yang dilakukan Di Matteo adalah memanggil Jose Bosingwa yang
menggantikan Cahill di
awal babak pertama. Bosingwa kemudian
diperintahkan Di Matteo untuk menemani Branislav Ivanovic di
jantung
pertahanan. Ramires pun ditarik menjadi bek kanan.
Di awal
perubahan sistem tersebut, para pemain Chelsea sempat kebingungan hingga
lahirnya gol yang
dicetak Andres Iniesta. Tapi, setelah itu Barcelona
dibuat frustrasi dengan strategi bertahan yang diterapkan
Chelsea.
Di
babak kedua pertahanan grendel yang diperlihatkan Chelsea semakin
menjadi-jadi. Bahkan Didier
Drogba lebih banyak berperan sebagai bek
kiri membantu Ashley Cole sebelum akhirnya diganti Fernando
Torres.
Strategi
yang diterapkan Di Matteo dalam dua leg semifinal melawan Barcelona
memang dianggap pragmatis
dan membosankan, namun pelatih yang
menggantikan Andre Villas-Boas pada Maret 2012 lalu tersebut
sukses
membawa Chelsea melangkah ke final Liga Champions.
"Cara kami
bermain dan bertahan, kami menunjukkan keinginan besar mencapai final.
Kami juga
mendapatkan sedikit keberuntungan. Untuk memenangkan trofi,
Anda membutuhkan itu semua," tegas Di
Matteo usai pertandingan.
Tanpa Empat PilarSayang,
Chelsea harus tampil di final yang berlangsung di Allianz Arena,
Jerman, 19 Mei 2012, tanpa empat
pemain intinya. Selain Terry yang
mendapat kartu merah, Chelsea juga tidak akan diperkuat Ramires, Raul
Meireles dan Branislav Ivanovic karena akumulasi kartu kuning.
Menanggapi
absennya empat pemain tersebut, Di Matteo belum mau memikirkannya.
Mantan pelatih West
Bromwich Albion hanya mengatakan, "Kami semua
manusia biasa, dan semua orang bisa melakukan
kesalahan."